INFOLABUANBAJO.ID — Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusa Komodo, Marsel Nagus Ahang, SH meminta Polres Mabar untuk segera menghentikan kasus yang dilaporkan salah satu pengusaha Tambang di Labuan Bajo terhadap Markus Erasmus Tengajo salah satu Jurnalis yang bertugas di Manggarai Barat.
Pengacara yang cukup tersohor di NTT ini bahkan dengan tegas menyebut sebaiknya kasus menimpa jurnalis itu limpahkan ke Dewan Pers.
Untuk diketahui, Erasmus yang juga Kepala Biro Media Metrorakyat.com Wilayah Provinsi NTT itu dilapor oleh Wemi Sutanto selaku Direktur PT Karya Adhi Jaya (KAJ).
Kasus ini sudah bergulir di Polres Maanggarai Barat, dan Erasmus sudah beberapa kali menghadiri pemeriksaan.
Menurut Ahang, ketika itu Erasmus sedang menjalankan tugas-tugasnya sebagai pekerja Jurnalistik.
“Apalagi saat itu ia (Erasmus) memfoto Amplop Surat itu seijin dari Staf dari Wemi Sutanto, itu artinya ada etika baik dan secara santun ia memintanya untuk memfoto,” kata Ahang.
Laporan Wemi Sutanto yang diterima oleh pihak Polres Mabar itu kata Ahang, merupakan persoalan sengketa pers, sehingga ranah tersebut hanya bisa diselesaikan oleh Dewan Pers, “bukan oleh pihak kepolisian dan saya berpesan ke Polres Mabar agar jangan gegabah dan keliru dalam penindakan proses hukum kasus ini karena ini jelas ranahnya Dewan Pers”
“Inikan sengketa pers, jadi tidak bisa dibawa ke ranah polisi, kita minta polisi untuk menghentikan kasus itu, dan polisi untuk tidak melakukan kriminalisasi terhadap pers. Polres Mabar juga harus menghormati MoU antara POLRI dan Dewan Pers,” ujarnya.
Marsel Ahang menyebutkan, terkait sengketa pers itu merujuk pada Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers. Sehingga, pihak Polres Mabar tidak semerta-merta bisa melakukan pemanggilan terhadap wartawan tersebut, sebab itu deliknya bukan Undang-Undang ITE.
“Undang-undang Pers itu merupakan Lex specialis derogat legi generali yang artinya asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis),” ungkapnya.
“Kalau pihak Wemi yang merasa dirugikan, ya mereka melaporkannya itu ke Dewan Pers bukan ke polisi dalam hal ini Polres Mabar, nanti dewan pers yang membuktikan apakah itu salah atau seperti apa,” tambahnya.
Dijelaskan Ahang, jika polisi masuk ke wilayah itu, dikhawatirkan ada upaya kriminalisasi atau pembungkaman kebebasan Pers terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugasnya, apalagi itu bukan ranahnya polisi untuk mengadili atau menyeret ke ranah Undang-Undang ITE.
“Kan ada MoU-nya, sangat jelas bahwa yang terkait dengan sengketa pers itu domainnya dewan pers bukan polisi. Kita minta pihak Polres Mabar untuk segera menghentikan kasus itu, mereka ngak bisa menangani itu, karena itu sengketa pers, dan polisi harus menghormati MoU,” ujar Marsel Ahang
Lanjutnya, pihak Polres Mabar juga seharusnya mendukung kerja-kerja teman Wartawan dalam menggali informasi atau membongkar aktivitas Batching Plant Ilegal di Mabar, lalu saya juga mendengar dari beberapa media bahwa Aktivitas Ilegal Batching Plant ini pernah dilaporkan oleh Ormas Pemantau Keuangan Negara (PKN) Mabar namun tidak ditindaklanjuti proses Hukumnya sampai saat ini alias Mangkrak.
“Ada apa dengan Polres Mabar? Jika pelapornya dari Pengusaha mereka serius menanggapinya tapi kalau kasus-kasus besar masih mangkrak kasusnya di Polres Mabar,” tutupnya.
Kronologi Kasus yang Menyeret Erasmus Tengajo
Erasmus Tengajo, Kepala Biro Media Metrorakyat.com Wilayah Provinsi NTT, menceritakan awal mula kasus pelaporan dirinya oleh Wemi Sutanto selaku Direktur PT Karya Adhi Jaya (KAJ) ketika pada tanggal 22 januari 2024 sekitar pikul 11.01 wita ia menghubungi Direktur PT. Karya Adhi Jaya (KAJ) Wemi Sutanto, melalui pesan whatsApp untuk meminta waktu yang bersangkutan untuk mengkonfirmasi berita atas dugaan aktivitas Batching Plant illegal milik PT. KAJ yang berada di Marombok, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
“Lalu kemudian Wemi Sutanto merespon bahwa dirinya sedang berada di Rumah sakit sehingga belum biasa memberikan keterangan atau penjelasan terkait persoalan tersebut. Pada tanggal 7 Februari 2024 sekitar pukul 08.07 Wita. Saya coba menghubungi kembali Wemi Sutanto untuk menanyakan hal yang sama, kemudian beliau bersedia dan meminta saya beretemu di kantornya di Jalan Pede, Labuan Bajo pada pukul 16.00 Wita. Pada Pukul 15.18 Wita, saya mengajak salah satu teman wartawan lain juga dari NTTNews (Andi) untuk menemui Wemi Sutanto di kantornya. Tiba di kantor, kami berdua menunggu di ruangan tamu karena informasi dari stafnya bahwa Wemi Sutanto sedang berada di luar. Setelah itu kami Kembali ke tempat duduk dan tidak lama kemudian ada dua orang yang berpakain kemeja putih berkerah datang ke kantor itu untuk mengantar surat. Surat tersebut diterima oleh kedua orang staf PT. KAJ. Usai menyerahkan surat tersebut, kedua orang itu meninggalkan kantor PT. KAJ,” jelas Erasmus pada Kamis 06 Juni 2024.
“Saya menengok ke ruangan staf, saya melihat kedua staf itu yang sedang mendiskusikan sesuatu yang disinyalir berterkaitan surat itu yang barusan diterima dan terdengar kedua staf itu membicarakan tentang Batching Plant. Karna kondisi rungan yang berdinding kaca dan tembus pandang, saya tertarik dan berkomunikasi dengan kedua staf tersebut dalam ruangan kerjanya,” tambahnya.
Dan berikut adalah adalah Alur Dialog Antara Erasmus dengan karyawan Wemi Susanto
Halo Kaka, tadi itu siapa yang mengantar surat ew? Salah satu stafnya menjawab dari Dinas Kaka,
Saya bertanya lagi dari Dinas Mana Nu
dia menjawab “coba ite lihat saja Kaka” (sambil menunjukkan arah tangannya ke surat tersebut).
Saya ijin lihat Nu ew, jawabnya Iyo Kaka.
Kemudian saya menanyakan perihal tersebut dan mereka mengambilnya serta menunjukkan kepada saya. Setelah dilihat Cop Suratnya, ternyata itu surat dari Dari Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Manggarai Barat. Kemudian saya meminta izin untuk mendokumentasikan amplop surat tersebut yang dalam kondisi surat sudah dibuka segelnya oleh kedua staf itu dan masih tergeletak diatas meja.
Setelah itu saya kembali ke ruangan tunggu sembari menunggu Wemi Sutanto tiba, saya berpikir dan merasa surat itu ada kaitannya dengan hal yang saya mau konfirmasi terkait Batching Plant , lalu saya mengirim hasil potret atau gambar surat amplop itu ke nomor WhatsApp Wemi Sutanto. Adapun percakapan melalui chatt WhatsApp sebagai berikut:
Setelah saya mengirim gambar, Wemi Sutanto merespon, “Apa ini om?”
“Yg ini juga mau bahas ko,” kata saya.
Kemudian ia menjawab, ”iya om…ini apa?”
Saya bilang, “surat dari dinas penanaman modal utk ite”
“Kok bisa ite yg terima surat itu?” Tanya Wemi.
“Kebetulan kami lagi di kantor pas pegawai dari dinas datang antar, “kata saya.
“iya om…itu yg sy tny om….kok bisa surat utk sy tp kok ite yg terima?” imbuhnya.
“Bukan saya yg terima….,” kata saya.
“Nkrabo….td sy kira ite yg antar surat itu ke sy,” kata Wemi.
“bukan, saya masih tunggu ite di kantor..” kata saya.
Kemudian saya lanjut bertanya “Ko ite jadi balik ke kantor lagi….Biar saya tidak tunggu lama?”
“Nkrabo sy masi di luar om” kata Wemi
“Ite jam berapa balik ko, saya jam 5 mau ke Lembor” kata saya.Tak lama kemudian ia pun menjawab “Ini sy mau balik kantor”kata Wemi.
“Siap” kata saya.
Begitu Wemi Sutanto tiba di kantor, ia memanggil kedua staf untuk masuk ke ruangannya, tak lama setelah itu salah satu stafnya memanggil saya dan teman saya Andi untuk masuk ke ruangan Wemi.
Tiba di ruangan, Wemi pun bertanya kepada stafnya perihal siapa yang mengambil gambar surat yang dikirim kepadanya. Staf tersebut menunjuk ke saya, lalu saya menyahutnya benar bahwa saya yang mengambil gambar itu atas ijin mereka. Diwaktu yang sama Wemi bertanya lagi ke stafnya, “siapa yang mengijinkan mereka memfoto surat itu”, lalu stafnya menjawab maaf pak kami mengijinkannya.
Kemudian saya pun langsung menanyakan kesediaan Wemi untuk memulai wawancara dan saya meminta ijin untuk merekam proses wawancara tersebut, akan tetapi Wemi menjawab, “ tidak usah direkam, tidak usah wawancara, kita diskusi biasa saja’ lalu diapun berkata lagi “ya seperti di pemberitaan di media-media itu.”
Setelah Wemi menjawab seperti itu, saya dan Andi bergegas untuk pamit pulang, karena saat itu saya buru-buru menuju ke Lembor.
Tiba-tiba pada tanggal 1 maret 2024 saya menerima surat undangan klarifikasi dari Polres Manggarai Barat sebagai saksi untuk mengambil keterangan yang dilaporkan oleh Wemi Sutanto terkait dugaan tindak pidana penyebaran data pribadi. Kemudian saya hadir sesuai waktu yang telah ditentukan dalam undangan. Kurang lebih 16 pertanyaan disampikan ke saya.
Pada tanggal 21 Mei 2024, saya mendapatkan surat panggilan kedua dari Polres Manggara Barat dengan nomor:
SP.Gil/164/V/2024/Sat. Reskrim. Bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana harus dilakukan Tindakan hukum berupa pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. Saya telah menghadap sesuai jadwal yang tertuang dalam surat panggilan.Pada tanggal 29 Mei 2024, saya kembali mendapatkan surat panggilan ke-tiga untuk permintaan keterangan tambahan dari Polres Manggarai Barat dengan nomor: SP.Gil/173/V/2024/Sat. Reskrim.
Atas nama pekerja jurnalistik, saya merasa ini adalah salah satu bentuk diskriminasi terhadap kebebasan pers dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik dan saya merasa tidak melanggar sesuai kode etik jurnalistik karena saya memotret amplop surat tersebut atas seijin dari kedua staf dari Wemi Sutanto. Namun terlepas dari itu, dokumen yang saya potret (Amplop Surat Yang Dikirim Ke WhasAppp Wemi Sutanto) belum pernah dipublikasikan kepada pihak lain.
Dalam rangkaian proses hukum yang saya hadapi saat ini kiranya Polres Mabar dapat mempertimbangkan dengan baik dan tetap mematuhi nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan POLRI Tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers serta Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Demikian kronologi yang saya dapat sampaikan dengan sebenar-benarnya, Atas perhatian saya ucapkan terimakasih.