INFOLABUANBAJO.ID – Masalah tanah di Labuan Bajo yang melibatkan antara ahli waris Ibrahim Hanta melawan keluarga Niko Naput terus bergulir di Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Obyek tanah sengketa tersebut terletak di Keranga, Kelurahaan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.
Dalam agenda sidang yang digelar pada Rabu (12/06/20240) pihak ahli waris Ibrahim Hanta menghadirkan saksi kunci yaitu Yohanes Pasir dan Wihelmus Warun.
Kehadiran keduanya sangat penting terkait untuk menjelaskan adanya surat penyerahan tanah adat pada tanggal 10 Maret 1990 dan surat penyerahan tanah adat pada 21 Oktober 1991.
Terungkap, ternyata masing-masing surat penyerahan tanah adat tersebut telah dibatalkan pada 17 Januari 1998.
Dalam agenda sidang ini juga saksi dengan tegas menyebut jika anak dari almarhum Dalu Nggorang Haji Ishaka yakni Haji Ramang Ishaka tidak punya hak lagi untuk menata tanah.
Hal ini dipertegas dalam sebuah dokumen pernyataan yang ditandatangani oleh Fungsionaris Adat atas nama Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhammad Syair serta saksi antara lain: Haji Muhammad Syahip, Antonius Hantam, Haji Muhammad Abubakar Djudje, Abubakar Sidik, Theo Urus, Muhammad Sidik, Fransiskus Ndejeng, Muhammad H. Ishaka Bakar.
Salah satu point dalam dokumen ini berisi tentang kedaulatan Fungsionaris adat Nggorang tidak mempunyai hak lagi atas tanah adat ulayat Nggorang yang telah diberikan kepada yang menerimanya di wilayah kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat.
Dalam keterangnya kepada Info Labuan Bajo Jumat (14/06/20240, saksi Wihelmus Warung menegaskan jika dirinya di depan majelis hakim saat sidang yang digelar pada Rabu (12/06/2024) menerangkan bahwa terdapat surat pembatalan penyerahan tanah adat pada tahun 1998.
“Fakta sidang kemarin di pengadilan negeri Labuan Bajo saya sebagai saksi dari penggugat Muhamad Rudi. Hakim menanya saya terkait dengan tau atau tidak soal tanah itu. Jujur, saya sampaikan kepada hakim bahwa tanah itu saya tahu. Karena tanah itu juga saya pernah Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 2000. Karena saya mau menanam jagung di situ. Makanya saya Kapu Manuk-Lele Tuak pada Haji Ishaka pada tahun 2000,” terang Wihelmus.
Saat Kapu Manuk-Lele Tuak di Haji Ishaka itu, lanjut Wihelmus, “jawaban pak Haji Ishaka atas permintaan saya, tidak bisa kau mendapatkan tanah di posisi itu. Tanah itu tanah tumpang tindih antara Nazar Cupu dengan Ibrahim Hanta.”
Dijelaskan Wihelmus, Haji ishaka ketika itu juga menyebut ia telah membatalkan tanah atas nama Nazar Supu yang seluas 16 Hektar dua tahun sebelumnya yaitu tahun 1998.
“Ishaka membatalkan tanah Nazar Supu itu pada tahun 1998, dua tahun sebelum saya minta tanah ini,’’ tegas Wihelmus.
Masih di tahun 2000, Wihelmus juga menanyakan soal tanah yang lain ke Haji Ishaka, namun jawaban Ishaka, kata Wihelmus, ”begini di tanah Nazar Supu yang 16 hektar itu, 11 hektar lebihnya itu milik Ibrahim Hanta berdasarkan Kapu Manuk-Lele Tuak pada tahun 1973.”
Kata Ishaka lagi, terang Wihelmus, “selebihnya di sebelah selatan itu sudah menjadi milik yayasan Pemda Manggarai. Sehingga kalau ade paksa untuk mendapatkan posisi di situ, sesungguhnya 16 hektar milik Nazar Supu sudah tidak ada tanah di situ. Karena yang memilik sebelum dia ada Ibrahim Hanta sebabnya 11 hektar lebih. Kemudian untuk yayasan Pemda Manggarai ada 4 hektar lebih di sebelah selatannya itu.’’
Niat Wihelmus untuk mendapatkan tanah itu tidak berhenti, ia terus mendesak Haji Ishaka, ‘’bagaimana saja caranya pak Haji, bagaimana saya mendapatkan tanah itu,’’ ungkap Wihelmus Warung.
Jawaban Haji Ishaka ketika itu kata Wihelmus, “begini dia bilang, kalau kau paksa disini tidak bisa. Saya buktikan bahwa ini suratnya. Surat ini, surat Nazar Supu ini 16 hektar lebih ini dan ini surat pembatalan yang saya buat dua tahun ini yaitu 98,” beber Wihelmus menjelaskan kembali pernyataan dari Haji Ishaka.
“Dan dia (Haji Ishaka) tunjuk ini suratnya Nazar Supu 16 hektar itu, dia tunjuk surat pembatalan itu,’’ tambahnya.
Saat bertemu Haji Ishaka, Wihelmus sempat meminta foto copy, namun yang diberikan haji Ishaka kepada dirinya hanya surat pembatalan saja.
“Dan surat pembatalan itu saya tunjuk di persidangan kemarin,” tandas Wihelmus Warung.
Wihelmus Warung kembali meneceritakan soal pertemuannya dengan Haji Ishaka terkait permintaan tanah itu, “lalu saya mengejar terus, pak haji bagaimana saja caranya.”
Jawaban Haji Ishaka, beber Wihelmus yaitu, “Begini sudah kau kenal Haji Djuje.’’
Kata Wihelmus, “terus saya bilang kenal baik dengan Haji Djuje.”
Wihelmus kembali menjelaskan, jika Haji Ishaka menerangkan bahwa, “Kebetulan Haji Djuje itu adalah penata tanah atas dasar kuasa saya.”
“Saya bilang kepada pak Haji Ishaka, begini pak Haji, bagaimana bisa meyakinkan saya bahwa Haji Djuje itu punya kewenangan menata tanah di Labuan Bajo,” terang Wihelmus.
Namun jawaban Haji Ishaka, kata Wihelmus yaitu, “jadi begini, saya kasih kopiannya saja surat kuasa saya kepada Djuje untuk menata tanah 16 lengkong termasuk titik tanah Kranga.”
“Yang sekarang sedang bersengketa itu dia tunjuk. Termasuk tanah yang tumpang tindih ini. Makanya Haji Ishaka pada tahun 2000 itu dia juga serahkan surat kuasa penataan tanah ke Haji Djuje yaitu pada tahun 1996,” beber Wihelmus.
“Sehingga saya pegang dua kopian waktu itu, waktu saya pulang. Satu adalah surat pembatalan terkait tanah Nazar Supu itu yang 98 itu, kemudian ada juga surat pembatalan atas nama Beatriks Seran, atas nama Niko Naput. Niko Naput, disitu dia bilang ada 10 hektar dibatalkan, Betariks Seran ada 5 hektar dibatalkan, Nazar Supu 16 hektar dibatalkan,” terang Wihelmus.
Perjuangan Wihelmus Warung untuk mendapat tanah dari Haji Ishaka tidak pupus. Kata Yohanes, “Saya kemudian ketemu bapak Haji Djuje.’’
‘’Bapak Saya minta tanah, saya amanat dari pak Haji Ishaka. Kapu Manuk Lele Tuak saya sudah dia terima, tetapi saya minta tanah itu di Keranga. Tapi dia bilang tanah itu sudah ada yang punya,’’ ungkap Wihelmus saat menemui Haji Djuje.
“Akhirnya permintaan saya di depan Haji Djuje itu dikabulkan. Dan Haji Djuje disposisikan saya tanah pada tahun itu di Goso Ngia. Sehingga saya dapatkan tanah-tanah itu di Goso Ngia, termasuk teman-teman saya banyak dapat tanah disitu, ada Pak Feri Adu, ada pak Jhon Pasir, pokoknya banyak. Sehingga bentuk respons balik dari Adat Nggorang, bentuk peduli atas dasar permintaan saya saat itu. Itu yang saya sampaikan (dalam sidang) kemarin,” beber Wihelmus Warung.
Terkait Haji Ramang Ishaka, anak Dalu Ishaka, menurut Wihelmus, bahwa pada tahun 2000 Haji Ramang itu masih bersetatus PNS aktif di Taman Nasional Komodo.
“Sehingga kuasa membagi tanah itu tidak mungkin jatuh ke anak kandungnya Haji Ishaka. Dan tanah-tanah itu sudah dikuasakan semua-pembagiannya,” terang Wihelmus.
Wihelmus menegaskan jika Haji Ramang tidak pernah turun lapangan untuk melakukan pembagian tanah.
“Yang tata tanah itu orang yang sudah dia Kuasakan. Termasuh Haji Djuje itu 16 titik, 16 Lingko,” terang Wihelmus Warung.
Wihelmus meminta agar Haji Ramang sebaiknya jangan menjadi dasar pemicu konflik tanah di Labuan Bajo.
“Itu saran saya sebagai warga di Kota Labuan Bajo. Karena tanah itu sudah ditata semua. Dan ada semua penatanya. Ramang itu tidak pernah menata, sudah ada pemiliknya semua. Ia tidak berhak lagi, apalagi mengeluarkan surat pengukuhan kepada orang,’’ tegas Wihelmus.
Kembali menyinggung soal dokumen 2013, kata Wihelmus, “waktu itu sudah sepakat, bahwa dia (Ramang) tidak boleh menata kembali tanah-tanah yang sudah ditata. Karena tidak ada lagi tanah yang belum ditata. Sudah habis ditata semua. Ramang, disarankan semua fungsionaris adat dikuatkan kembali apa yang pernah ditata kewenangan dari Bapaknya sendiri. Dan orang-orang yang dipercaya itu tidak boleh diganggu gugat lagi.’’
Maraknya masalah tanah saat ini di Labuan Bajo menurut, Wihelmus karena Ramang, “Tidak mengerti dengan adat.’’
“Ramang sendiri dianggap melanggar adat,’’ tutupnya.