fbpx

Jatuh Cinta di Natas Labar Motang Rua Kota Ruteng

- Redaksi

Selasa, 15 April 2025 - 18:13 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jatuh Cinta di Natas Labar Motang Rua Kota Ruteng. (Gambar Ilustrasi)

Jatuh Cinta di Natas Labar Motang Rua Kota Ruteng. (Gambar Ilustrasi)

Udara pagi di Kota Ruteng, sebuah kota yang dijuluki kota seribu gereja begitu sejuk, menyegarkan paru-paru siapa saja yang menghirupnya. Kabut tipis masih menyelimuti bukit hijau Golo Lusang, dan kecerahan begitu nampak di langit Natas Labar tempat yang sering menjadi destinasi favorit warga dan wisatawan lokal. Di sinilah, di antara hamparan rumput dan pepohonan pinus yang menjulang, kisah cinta sederhana itu dimulai.

Jeri, seorang fotografer dari Bajawa, baru pertama kali menginjakkan kaki di Natas Labar. Ia sedang dalam perjalanan solo trip ke beberapa tempat indah di Flores. Kamera tergantung di lehernya, sementara matanya sibuk mengamati setiap sudut lanskap yang memukau. Ia ingin menangkap momen matahari terbit dari puncak bukit.

“Jer, itu tempat bagus buat ambil foto,” suara lembut menyentaknya dari lamunan. Bukan suara kenalannya. Ia menoleh dan mendapati seorang gadis tersenyum padanya. Rambutnya dikepang sederhana, dan wajahnya terlihat segar meski udara pagi menggigit.

“Ince,” gadis itu menyodorkan tangan. “Saya lihat kamu tadi sibuk motret. Saya dan Lusi sering ke sini. Bisa tunjukkan spot terbaik kalau kamu mau.”

Jeri tersenyum, menerima uluran tangan itu. “Jeri. Terima kasih, saya memang baru pertama kali ke sini.”

Sejak perkenalan itu, pagi mereka jadi lebih hangat. Ince dan Lusi membawa Jeri ke spot tersembunyi yang bahkan tidak terjangkau di Google Maps. Mereka duduk bertiga, tertawa, membahas banyak hal, dari kopi Ruteng hingga mimpi masa depan. Tapi di tengah semua percakapan itu, hanya satu yang terus mengisi pikiran Jeri—senyum Ince.

Hari-hari berikutnya, Jeri menghabiskan waktu lebih lama di Ruteng. Tak lagi karena keindahan alamnya, tapi karena seseorang yang diam-diam mulai mencuri perhatiannya. Ia dan Ince semakin sering bertemu. Kadang di Natas Labar, kadang di kedai kopi kecil di kota. Lusi pun mulai sadar dan sering memberi mereka “ruang” tanpa diminta.

Suatu sore, saat matahari mulai turun perlahan di balik perbukitan, Jeri dan Ince duduk berdua di atas rerumputan.

“Ince,” suara Jeri pelan tapi mantap, “kamu tahu nggak? Dari semua foto yang saya ambil di Flores, cuma satu yang paling saya suka.”

“Yang mana?” Ince menoleh.

Jeri tersenyum sambil menatap mata gadis itu. “Yang ada kamu di dalamnya.”

Ince terdiam, pipinya memerah diterpa angin sore.

“Mungkin saya jatuh cinta,” lanjut Jeri, “bukan pada Ruteng… tapi pada seseorang yang saya temui di sini.”

Ince hanya tersenyum, tak menjawab. Tapi genggaman tangannya pada jemari Jeri cukup jadi jawaban.

Dan sejak hari itu, Natas Labar tak lagi hanya jadi tempat indah di peta wisata, tapi jadi awal dari kisah dua hati yang saling menemukan.

Beberapa minggu setelah mereka sering bertemu, Jeri mulai merasakan sesuatu yang berubah. Ince sering membalas pesan terlambat, kadang menghindar saat diajak bertemu. Bahkan, saat mereka bertemu pun, ada jarak yang tak kasat mata.

Hingga pada suatu malam, saat Jeri tak bisa tidur, ia memutuskan berjalan kaki ke Natas Labar. Tempat itu seperti penenang baginya. Tapi yang ia temukan di sana bukan ketenangan—melainkan kebenaran yang menghantam hatinya.

Ia melihat Ince bersama seorang pria lain. Duduk berdua, tertawa, dan saat tangan pria itu menyentuh pipi Ince dengan lembut, Jeri tahu… hatinya baru saja hancur.

Esoknya, Jeri tak menghubungi Ince. Ia memilih diam. Tapi seminggu kemudian, Ince datang ke penginapannya, wajahnya lelah seperti seseorang yang terlalu sering berpura-pura.

“Jeri… aku harus jujur,” ucapnya pelan. “Pria itu… mantan kekasihku. Tapi aku tak pernah benar-benar bisa melepaskannya. Aku mencoba, sungguh. Tapi saat kamu datang… kamu mengisi ruang kosong di hatiku, dan aku bingung. Aku bodoh.”

Baca Juga:  Sambil Nangis, Sarwendah Tanggapi Kabar Punya Hubungan Spesial dengan Betrand Peto

Jeri hanya menatapnya. Tak ada kemarahan, hanya kecewa.

“Kamu tahu, Ince…” suaranya pelan, “satu-satunya hal yang kupikirkan saat aku memotret kamu di Natas Labar… adalah bagaimana caranya membuatmu selalu tersenyum. Tapi sekarang aku sadar, senyum itu bukan untukku.”

Ince menunduk. “Aku menyesal, Jer.”

“Aku juga,” ucap Jeri. “Menyesal karena terlalu percaya bahwa cinta selalu cukup.”

Beberapa hari kemudian, Jeri meninggalkan Ruteng. Tapi sebelum pergi, ia naik sekali lagi ke Natas Labar. Di tempat pertama ia bertemu Ince, ia meletakkan foto—hasil jepretan pertamanya saat Ince tersenyum lepas di bawah cahaya matahari pagi.

Dan di sanalah, saat kabut mulai turun dan matahari menguning di ufuk barat, Ince berdiri menunggunya.

“Jeri…” suaranya lirih, matanya sembab. “Aku salah.”

Jeri tidak menjawab. Ia hanya menatapnya—bingung antara marah, rindu, dan kecewa.

“Aku bodoh,” lanjut Ince, “pria itu… mantan yang tak pernah benar-benar kulepaskan. Saat kamu datang, aku mulai bahagia… tapi aku juga takut. Takut kamu hanya singgah. Takut aku terlalu berharap. Jadi aku kembali ke yang lama. Tapi aku sadar… aku menyakiti satu-satunya orang yang tulus padaku.”

“Aku bukan singgah, Ince,” ucap Jeri akhirnya. “Kalau aku bisa, aku ingin jadi tujuan.”

Ince menatapnya dengan mata berkaca. “Aku minta maaf, Jeri. Tidak ada alasan. Hanya penyesalan. Tapi kalau kamu masih punya tempat untuk aku… walau kecil… aku ingin mulai lagi. Dengan jujur. Dengan kamu.”

Jeri menunduk, menarik napas panjang, lalu mendekat.

“Hatiku hancur, Ince. Tapi kalau kamu mau bantu aku menyatukannya lagi… aku bersedia mencoba.”

Dan di bawah langit senja Natas Labar, mereka saling menggenggam. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi memulai dari awal. Dengan lebih hati-hati. Lebih dewasa.

Karena cinta, kadang tak harus tanpa luka. Tapi selalu punya ruang untuk memaafkan.

Setahun telah berlalu sejak sore itu, saat dua hati yang sempat retak memilih untuk kembali utuh.

Jeri memutuskan pindah ke Ruteng. Ia mengambil pekerjaan sebagai fotografer freelance dan juga membuka kelas fotografi kecil-kecilan di sebuah komunitas seni. Bersama Ince, ia membangun ulang kepercayaan yang pernah roboh, pelan-pelan, hari demi hari.

Bukan tanpa tantangan. Tapi mereka belajar menyembuhkan, bukan mengungkit luka. Mereka belajar mendengarkan, bukan menuntut. Lusi pun tetap ada, menjadi jembatan dan saksi dari cinta yang sempat goyah namun tak pernah benar-benar padam.

Dan pada suatu sore yang hangat, tepat di tempat pertama kali mereka bertemu, Jeri menyiapkan kejutan.

Kabut tipis mulai turun di Natas Labar. Langit merah muda menyelimuti bukit, seolah memberi restu pada momen yang akan terjadi. Ince datang seperti biasa, berpikir mereka hanya akan duduk menikmati senja.

Namun saat ia melihat Jeri berdiri di tengah lapangan kecil itu, dengan lilin-lilin kecil menyala membentuk lingkaran, langkahnya terhenti.

“Jer…” gumamnya pelan.

Jeri menoleh, mengenakan kemeja putih yang rapi, dan senyum yang membuat Ince jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

“Ince…” suaranya tenang, tapi penuh getar, “Aku nggak pernah lupa senyumanmu waktu pertama kali kita ketemu di tempat ini. Waktu itu aku pikir kamu cuma akan jadi bagian dari foto-foto indahku di Ruteng…”

Ia mengambil sesuatu dari saku jaketnya—kotak beludru kecil berwarna cokelat tua.

“…tapi ternyata kamu adalah alasan aku berhenti menjelajah. Karena aku tahu, rumahku bukan di kota manapun. Tapi di hatimu.”

Baca Juga:  Mengenal Sosok Uskup Wanita Pertama yang Menikah dengan Profesor di Seminari Teologi

Ince menutup mulutnya, air mata mulai jatuh.

Jeri berlutut, membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran kecil: Natas Labar – 12.03

“Ince… maukah kamu menikah denganku?”

Ince tertawa di sela-sela tangis haru. Ia tak menjawab dengan kata-kata—hanya mengangguk cepat, lalu memeluk Jeri erat-erat. Di belakang mereka, Lusi muncul diam-diam membawa kamera, memotret momen itu—sebuah sketsa cinta yang kembali utuh.

Dan di bawah langit yang dulu pernah menjadi saksi patah hati, kini berdiri dua insan yang memilih untuk percaya lagi. Karena cinta, ketika diperjuangkan bersama, akan selalu menemukan jalannya pulang.

Sore itu, langit Natas Labar begitu tenang. Kabut tipis mulai turun, dan bayangan pepohonan bergoyang pelan ditiup angin. Di tengah hamparan rumput yang hijau, Jeri berdiri dengan jantung berdebar. Ia telah mempersiapkan momen ini selama berminggu-minggu. Lilin-lilin kecil membentuk lingkaran, kelopak bunga disebar hati-hati, dan di tangannya, sebuah kotak kecil berisi cincin yang telah lama ia simpan.

Ince datang, mengenakan jaket jeans dan celana kain abu, seperti biasa. Rambutnya diikat sederhana. Ia sempat bingung melihat suasana di Natas Labar, tapi begitu ia melihat Jeri berdiri di tengah, senyumnya mengembang—lalu perlahan pudar saat menyadari apa yang akan terjadi.

Jeri menarik napas dalam. “Ince…”

Ince mematung.

“Aku tahu perjalanan kita nggak sempurna. Kita pernah jatuh, dan kita saling menyakiti. Tapi kamu… kamu adalah rumah yang aku cari selama ini.”

Jeri berlutut, membuka kotak cincin.

“Maukah kamu menikah denganku?”

Sunyi. Angin seakan berhenti. Ince menatap Jeri lama, matanya mulai berkaca.

Tapi bukan karena haru—melainkan ragu.

“Jer…” suaranya pelan, hampir tak terdengar. “Aku nggak siap.”

Jeri masih berlutut. Perlahan, ekspresinya berubah. “Kenapa?”

Ince menunduk. “Bukan karena aku nggak cinta. Tapi karena aku masih takut… masih banyak hal dalam diriku yang belum selesai. Luka yang aku timbulkan ke kamu… aku belum selesai menebus itu. Aku takut menikah dalam kondisi seperti ini cuma akan membuat kita saling kecewa lagi.”

Jeri berdiri pelan, menatapnya dalam diam. Ia tidak marah. Tapi luka lama yang sempat ia redam terasa bergetar kembali.

“Aku bukan minta kesempurnaan, Ince. Aku cuma ingin kita jalan bareng—sembuh bareng. Tapi kalau kamu belum siap, aku nggak akan maksa.”

Ince mendekat, menggenggam tangan Jeri. “Aku ingin terus bersamamu, tapi izinkan aku memperbaiki diriku dulu… bukan sebagai pacarmu, tapi sebagai seorang perempuan yang ingin kamu banggakan suatu hari nanti.”

Jeri menariknya dalam pelukan. Tak ada janji yang diucapkan, tapi ada pemahaman yang tumbuh.

Kadang, cinta tak harus segera diikat dengan cincin. Kadang, cinta butuh waktu untuk menjadi dewasa sepenuhnya.

Di Natas Labar sore itu, bukan lamaran yang terjadi, tapi sebuah kesepakatan diam: bahwa ketika waktunya tepat, hati yang sama akan bertemu lagi—dengan kesiapan yang lebih kuat.

Setelah lamaran yang tak berujung pada kata “ya,” hubungan Jeri dan Ince masuk ke masa hening. Mereka masih saling bertemu, tapi seakan-akan ada sesuatu yang menggantung di udara. Sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa berat. Seolah waktu sedang menguji: apakah cinta mereka hanya kebetulan, atau benar-benar takdir?

Suatu malam, di bawah langit berbintang Kota Ruteng, mereka duduk berdua di atas motor Jeri. Jalan sepi, hanya suara jangkrik dan angin malam menemani.

“Aku lelah, Jer,” bisik Ince.

Berita Terkait

Flores yang Melahirkan Paus Fransiskus: Sebuah Narasi Geografis yang Kerap Disalahpahami
Tablo Jumat Agung di Ruteng, Manggarai: Tradisi Iman dan Budaya yang Menggetarkan Hati
Tradisi Unik Jumat Agung di Zaman Romawi: Iman, Penyaliban, dan Sejarah Tersembunyi
Rencana Pemekaran Provinsi NTT: Peluang Baru untuk Pemerataan Pembangunan di Timur Indonesia
Sejarah Hari Raya Idul Fitri dari Zaman Rasulullah SAW hingga Kini
Rame-rame Pakai Uang Rakyat Demi ke Jakarta, Sejumlah Kadis di Manggarai Barat Tak Patuh Efesiensi Anggaran?
Vatikan Umumkan Paus Fransiskus Idap Pneumonia di Kedua Paru-paru
Momen Megawati Beri Lukisan Bunda Maria Berkebaya Saat Bertemu Paus Fransiskus di Vatikan

Berita Terkait

Senin, 21 April 2025 - 18:19 WITA

Flores yang Melahirkan Paus Fransiskus: Sebuah Narasi Geografis yang Kerap Disalahpahami

Jumat, 18 April 2025 - 21:12 WITA

Tablo Jumat Agung di Ruteng, Manggarai: Tradisi Iman dan Budaya yang Menggetarkan Hati

Jumat, 18 April 2025 - 11:19 WITA

Tradisi Unik Jumat Agung di Zaman Romawi: Iman, Penyaliban, dan Sejarah Tersembunyi

Kamis, 17 April 2025 - 19:34 WITA

Rencana Pemekaran Provinsi NTT: Peluang Baru untuk Pemerataan Pembangunan di Timur Indonesia

Selasa, 15 April 2025 - 18:13 WITA

Jatuh Cinta di Natas Labar Motang Rua Kota Ruteng

Berita Terbaru

Kecelakaan Tunggal Dump Truck Bermuatan Dekorasi di Lembor

PERISTIWA

Kecelakaan Tunggal Dump Truck Bermuatan Dekorasi di Lembor

Minggu, 27 Apr 2025 - 20:34 WITA