
INFOLABUANBAJO.ID — Kegiatan reses yang dilaksanakan oleh seluruh anggota DPRD Manggarai Barat kembali menjadi sorotan publik. Dalam sistem demokrasi, reses adalah instrumen penting bagi wakil rakyat untuk turun langsung ke tengah konstituen, menyerap aspirasi, serta membangun komunikasi dua arah yang sehat antara rakyat dan lembaga legislatif. Namun, di balik agenda-agenda reses yang secara administratif berjalan sesuai jadwal, publik mempertanyakan: apakah reses benar-benar menjawab kebutuhan rakyat, atau sekadar rutinitas politik yang kehilangan rohnya?
Manggarai Barat sebagai salah satu kabupaten strategis di Nusa Tenggara Timur—dengan posisi Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata super prioritas nasional—memiliki tantangan pembangunan yang kompleks. Ketimpangan akses terhadap infrastruktur dasar seperti air bersih, jalan, dan layanan kesehatan, masih menjadi keluhan utama masyarakat di wilayah pedesaan. Di saat yang sama, geliat ekonomi dan investasi di kawasan pariwisata tampak belum sepenuhnya menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat bawah. Di sinilah peran DPRD menjadi sangat krusial—untuk menjembatani kebutuhan rakyat dengan arah kebijakan pembangunan daerah.
Reses seharusnya menjadi momen penting untuk mendengarkan suara-suara dari pinggiran—yang kerap luput dari meja rapat ber-AC di kantor dewan. Ketika anggota DPRD turun ke dapilnya, mereka sejatinya membawa mandat konstitusi: mewakili, mendengarkan, dan memperjuangkan. Namun sayangnya, dalam praktiknya, kegiatan reses tak jarang hanya menjadi simbolisasi kehadiran, dengan format yang monoton: sambutan, serap aspirasi singkat, dokumentasi, dan selesai. Padahal, masyarakat berharap lebih dari itu. Mereka menunggu kehadiran wakil rakyat yang tidak hanya datang membawa catatan kosong, tetapi pulang membawa solusi.
Pertanyaan kritis yang patut diajukan adalah: ke mana perginya hasil-hasil reses itu? Sejauh mana hasil reses diintegrasikan dalam pembahasan anggaran, program pembangunan, dan pengawasan kebijakan pemerintah daerah? Jika reses hanya berakhir sebagai laporan formalitas tanpa jejak keberlanjutan, maka kita sedang membangun budaya politik semu—yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Halaman : 1 2 Selanjutnya