INFOLABUANBAJO.ID – Citra Kepolisian Republik Indonesia kembali tercoreng setelah seorang anggota Polres Sumba Barat Daya (SBD) diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan yang merupakan korban pemerkosaan. Peristiwa memilukan ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum.
Pelaku berinisial PS, seorang anggota polisi berpangkat Ajun Inspektur Satu (Aiptu), diduga melecehkan MML (25), korban pemerkosaan yang sebelumnya melaporkan kejadian tragis yang dialaminya di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan.
Ironisnya, pelecehan tersebut terjadi saat PS sedang menjalankan tugas sebagai petugas yang mengambil keterangan korban di Polsek Wewewa Selatan. Berdasarkan keterangan MML, dirinya dijemput dari rumah dan dibawa ke kantor polisi. Di sana, saat kondisi kantor sepi, PS diduga memanfaatkan situasi dan melakukan tindakan tidak senonoh.

“Dia minta saya buka baju, lalu memasukkan jarinya ke bagian sensitif saya. Setelah itu, dia bilang jangan kasih tahu siapa-siapa,” ungkap MML di rumahnya pada Selasa (4/6/2025) sebagaimana diberitakan portal timesntt.com
Kapolres SBD Siap Tindak Tegas
Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Harianto Rantesalu, saat dikonfirmasi menyatakan kesiapannya untuk menindak tegas anggota yang terbukti bersalah.
“Saya perintahkan anggota Propam untuk melakukan pemeriksaan terhadap oknum tersebut. Silakan korban melapor secara resmi. Kami tidak akan main-main dalam menangani kasus ini,” ujar AKBP Harianto melalui sambungan telepon.
Aktivis Perempuan Desak Proses Hukum Transparan
Kasus ini pun memicu reaksi keras dari aktivis perempuan di Pulau Sumba. Imelda Sulis Setiawati, tokoh yang aktif memperjuangkan hak perempuan, mendesak agar penyelidikan dilakukan secara transparan dan tuntas.
“Sebagai aparat penegak hukum, PS seharusnya melindungi korban, bukan justru memanfaatkannya. Tindakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap institusi dan harus diberikan sanksi tegas,” tegas Sulis.
Ia juga menegaskan pentingnya penanganan yang sensitif terhadap korban kekerasan seksual, serta perlunya pengawasan ketat terhadap aparat yang menangani kasus-kasus serupa.
Jika terbukti, tindakan PS bukan hanya melanggar kode etik kepolisian, tetapi juga merupakan pelanggaran pidana berat. Korban yang sudah mengalami trauma akibat pemerkosaan, kini justru kembali menjadi korban oleh aparat yang seharusnya memberikan perlindungan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi institusi kepolisian untuk memperkuat sistem pengawasan internal serta menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dalam setiap tahapan proses hukum. ***
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Timesntt.com