INFOLABUANBAJO.ID — Labuan Bajo, sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), kini menjelma menjadi salah satu destinasi wisata paling bergengsi di Indonesia dan bahkan dunia. Kota ini tak hanya dikenal sebagai pintu gerbang menuju Taman Nasional Komodo, tetapi juga sebagai simbol transformasi pesat dari sebuah kampung nelayan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru Indonesia bagian timur. Dan berikut adalah sejarah Kota Labuan Bajo.
Namun, di balik gemerlapnya nama Labuan Bajo saat ini, tersimpan sejarah panjang, kompleks, dan sarat dinamika yang layak dikenang dan dipahami. Sejarah ini tak hanya soal infrastruktur dan pariwisata, tetapi juga tentang manusia, budaya, kolonialisme, dan perjuangan menjadi daerah otonom.
ASAL-USUL NAMA “LABUAN BAJO”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nama “Labuan Bajo” memiliki makna yang sederhana namun kaya akan jejak sejarah. Kata “Labuan” berasal dari kata dalam bahasa Melayu yang berarti tempat berlabuh atau pelabuhan. Sementara “Bajo” merujuk pada suku Bajo — sebuah komunitas pelaut yang dikenal tinggal di kawasan perairan Sulawesi, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara. Menurut penuturan para tetua adat, masyarakat Bajo yang datang dari arah Sulawesi sering singgah dan tinggal sementara di teluk kecil ini sebelum melanjutkan pelayaran ke timur. Lama-kelamaan, tempat ini dikenal sebagai “Labuan Bajo”, pelabuhan tempat orang Bajo berlabuh.
Meskipun suku asli di wilayah ini adalah Manggarai, kehadiran etnis Bajo, Bugis, dan Makassar turut mewarnai sejarah awal interaksi dan perdagangan di pesisir Flores barat. Interaksi antar suku ini turut membentuk identitas multikultural Labuan Bajo hingga kini.
MASA KOLONIAL BELANDA DAN DOMINASI KERAJAAN LOKAL
Pada masa pra-kemerdekaan, wilayah Labuan Bajo termasuk ke dalam wilayah Kerajaan Manggarai yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Bima dan kemudian dijadikan wilayah kolonial Hindia Belanda. Belanda menaruh perhatian besar pada wilayah Manggarai karena potensi hasil bumi dan kedudukan strategisnya.
Dalam struktur kolonial, Labuan Bajo hanya menjadi titik kecil dalam sistem logistik dan administrasi. Kota Ruteng, yang terletak lebih ke timur dan berada di dataran tinggi, dipilih sebagai pusat pemerintahan Belanda di Manggarai karena udaranya yang lebih sejuk dan posisi yang lebih mudah dipertahankan dari sisi militer.
Namun demikian, Labuan Bajo tetap menjadi pelabuhan penting untuk pengiriman hasil bumi seperti kopi, cengkih, dan hasil laut. Belanda membangun dermaga kecil dan menjadikan Labuan Bajo sebagai jalur laut menuju ke Sumbawa dan Makassar.
ZAMAN PERALIHAN: MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, wilayah ini masuk dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun, Labuan Bajo tetap menjadi daerah yang terpinggirkan dari pembangunan nasional. Hingga akhir 1990-an, Labuan Bajo masih berupa kampung nelayan sederhana dengan infrastruktur yang sangat terbatas. Jalanan masih berupa kerikil dan lumpur, listrik hanya hidup beberapa jam dalam sehari, dan pelabuhan nyaris tak berfungsi optimal.
Masyarakat hidup dari hasil laut, pertanian, dan sedikit perdagangan. Wisatawan asing yang datang untuk mengunjungi Pulau Komodo atau melakukan diving masih sangat sedikit, dan kebanyakan hanya backpacker yang menempuh perjalanan panjang dari Bali atau Lombok.
Namun, di balik keterbatasan itu, keindahan alam dan keramahan penduduk lokal mulai menarik perhatian para petualang dan peneliti. Beberapa kapal pesiar kecil dan operator diving dari luar negeri mulai menjadikan Labuan Bajo sebagai titik pemberhentian.
PEMEKARAN KABUPATEN MANGGARAI BARAT
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Redaksi
Halaman : 1 2 Selanjutnya






