INFOLABUANBAJO.ID — Polemik klaim kepemilikan ulayat Lengkong Warang di Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, kembali memanas. Kasus ini merupakan bara konflik lama yang terus menyala. Di satu sisi, masyarakat adat Gendang Rareng menegaskan hak leluhur mereka. Di sisi lain, kelompok Gendang Mbehal mengklaim kepemilikan yang sama.
Ketegangan lama itu kian memuncak setelah lembaga gerejawi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) milik kongregasi religius Serikat Sabda Allah (SVD) perwakilan Ruteng mengeluarkan pernyataan yang dinilai menohok aparat penegak hukum. Dalam berita Floresa.co, pimpinan JPIC-SVD Ruteng, Simon Tukan, menduga Kepolisian Resor Manggarai Barat diperalat dalam proses hukum masalah tanah di wilayah itu.
Pernyataan tersebut sontak menuai reaksi keras. Salah satunya datang dari Mersi Mance, tokoh muda ulayat Rareng. Ia menilai tudingan lembaga misi itu berpotensi menyesatkan publik dan melemahkan upaya pemberantasan mafia tanah di daerah pariwisata super prioritas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalam berita Floresa.co yang berjudul JPIC-SVD menduga Kepolisian Mabar diperalat untuk proses hukum masalah tanah di Manggarai Barat. Pernyataan ini disampaikan oleh Simon Tukan, pimpinan JPIC-SVD. Sementara di sisi lain masyarakat Manggarai Barat dukung penuh langkah Polres Mabar dalam membasmi mafia tanah di Mabar. Saya menduga pernyataan pimpinan JPIC ini menyesatkan. Ini pernyataan rekayasa untuk melemahkan upaya penegakkan hukum atau sekadar membangun opini saja,” ujar Mersi Mance kepada Info Labuan Bajo, Kamis (13/11/2025).
“Membingungkan, JPIC-SVD Ruteng, mendukung penegak hukum atau mafia tanah?,” tambahnya dengan nada heran.
Bayang-bayang Nama Lama
Menurut Mersi, akar persoalan tanah Lengkong Warang muncul setelah sejumlah nama kembali disebut: Bonaventura Abunawan, Doni Parera, dan Simon Tukan.
“Perlu diketahui, Tukan dan Parera ini bukan orang Manggarai. Pemahaman tentang budaya Manggarai dipertanyakan. Masyarakat Mabar tahu siapa itu Bona dan siapa itu Parera,” ujarnya.
Dalam berbagai liputan media, lanjut Mersi, sosok Doni Parera disebut-sebut sebagai provokator.
“Parera ini dituding sebagai provokator dan bohong besar. Sementara Bona dipenjarakan karena klaim tanah Boleng, termasuk Lengkong Warang milik Mbehal dengan menggunakan peta palsu,” katanya.
Ia menyesalkan dua tokoh tersebut yang dinilainya tak memahami konteks adat lokal namun turut mengintervensi persoalan lahan.
“Disayangkan, baik pater Tukan maupun Parera bukan orang Manggarai. Pemaham mereka tentang budaya Manggarai dipertanyakan. Tetapi mengapa dua orang ini mengacak-acak soal kasus tanah adat sebagaimana pernyataan di media online itu? Persoalan tanah adat di Manggarai diselesaikan antara masyarakat adat tapal batas. Bahwa ada lembaga lain yang ikut mengkaji, seperti JPIC, hanya sebatas referensi saja. Kajian lembaga ini tentu bisa salah dan bisa benar. Karena itu, kajian lembaga harus akurat dan posisinya independen serta berdasarkan fakta yang benar,” ucapnya panjang lebar.
Dugaan Jaringan Mafia Tanah
Mersi tak berhenti di situ. Ia menuding Doni Parera dan lembaganya berperan ganda dalam pusaran kepentingan gelap. “Doni Parera bersama LSM Ilmu yang dipimpinnya, adalah kamuflase sesungguhnya merupakan geng pendukung mafia tanah yang ada di Labuan Bajo, secara khusus tanah yang ada di Kecamatan Boleng. Doni Parera itu, pembohong besar dan juga tukang provokator. Saya menduga si Doni dapat kompensasi yang besar dari pihak mafia. Makanya getol sekali mendukung aksi dari pihak mafia tanah,” ujarnya.
Bagi Mersi, hubungan Doni Parera dan Bonaventura Abunawan bukan kebetulan. “Kalau Bona Abunawan tukang buat sejarah palsu untuk merampok tanah hak milik orang lain, maka Doni Parera bertindak sebagai geng yang membela kelompoknya Bonaventura Abunawan yang tersandung kasus hukum,” katanya.
Dukungan untuk Penegak Hukum
Di tengah silang opini dan tuduhan saling serang, Mersi menegaskan posisinya: mendukung aparat hukum. “Kami mendukung penuh atas semangat dari pihak Kepolisian Resor Manggarai Barat dalam menindak tegas setiap pelaku kejahatan termasuk pelaku mafia tanah,” tegasnya.
Namun dukungan itu disertai kritik tajam terhadap JPIC-SVD. Ia menduga lembaga itu ikut membawa kepentingan tertentu dalam konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat.
“Saya menduga ada kepentingan besar dari JPIC terhadap tanah yang ada di Manggarai Barat, termasuk tanah yang ada di Boleng. Apakah JPIC tahu betul sejarah tentang tanah yang ada di Boleng? Saya yakin, dukungan dari pihak JPIC karena hanya mendengar sejarah dari pihak sebelah atau dari satu pihak. Untuk itu saya berharap agar JPIC tidak terlalu jauh mencampuri urusan tanah yang sejarahnya hanya dari satu pihak saja. Agar penilaian masyarakat tidak negatif terhadap JPIC,” tutupnya.
Catatan redaksi:
Hingga berita ini ditulis, pihak JPIC-SVD Ruteng dan Doni Parera belum memberikan tanggapan atas tudingan yang disampaikan Mersi Mance. Redaksi masih berupaya menghubungi keduanya untuk mendapatkan klarifikasi dan konfirmasi lanjutan.
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Reims Nahal






