INFOLABUANBAJO.ID — Isu sosial yang cukup menggelitik tengah ramai diperbincangkan di Bali. Melalui unggahan halaman Facebook Bali Express, muncul laporan bahwa sejumlah pemilik kos di wilayah Bali menolak calon penghuni asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Penolakan tersebut, sebagaimana diungkap dalam unggahan yang juga dibagikan akun Vincebere Life Story pada 28 Oktober 2025, disebut berawal dari kekhawatiran sebagian pemilik kos terhadap perilaku sejumlah penyewa yang dinilai sering menimbulkan gangguan di lingkungan tempat tinggal.
Dalam unggahan itu dijelaskan, ada empat alasan utama yang menjadi dasar sikap penolakan tersebut. Pertama, penghuni kos sering melebihi kapasitas kamar yang telah ditetapkan oleh pemilik. Kedua, kebiasaan memutar musik keras hingga larut malam yang dianggap mengganggu kenyamanan warga sekitar. Ketiga, mudah tersulut emosi dan terlibat pertengkaran, serta keempat, gaya hidup yang dinilai tidak sesuai dengan norma lingkungan setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski begitu, unggahan tersebut juga menegaskan bahwa tidak semua warga NTT bersikap demikian. Banyak warga asal NTT di Bali dikenal sopan, ramah, dan memiliki etika baik dalam bergaul dengan masyarakat setempat. Hanya saja, ulah segelintir individu membuat stereotip negatif melebar dan menimbulkan jarak antarwarga.
Fenomena ini pun memunculkan perdebatan di ruang publik. Sebagian warganet menilai bahwa sikap diskriminatif semacam itu tidak seharusnya terjadi di Bali yang dikenal dengan nilai-nilai toleransi dan keterbukaannya terhadap pendatang. Namun, ada pula yang memahami kekhawatiran para pemilik kos, terutama jika sudah pernah mengalami kerugian atau gangguan akibat perilaku penyewa sebelumnya.
Unggahan Bali Express itu kini ramai dikomentari dan dibagikan di media sosial. Banyak pengguna internet menyerukan agar masyarakat tidak menggeneralisasi perilaku individu menjadi citra kelompok, serta mendorong semua pihak untuk lebih bijak — baik dalam bersikap maupun dalam menilai orang lain berdasarkan asal-usulnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa perilaku personal dapat berimbas pada reputasi kolektif, dan bahwa keharmonisan dalam kehidupan sosial menuntut sikap saling menghormati, tanpa prasangka dan diskriminasi. ***
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Redaksi






