Sebuah sanggar seni lokal menjadi ujung tombak strategi baru memikat pasar global ke Labuan Bajo. Bukan lagi Komodo, kini narasi budaya Manggarai yang dijual.
INFOLABUANBAJO.ID– Senja baru saja turun di Nuka Beach Club, The Golo Mori, Sabtu kemarin. Di hadapan tujuh pasang mata dari Malaysia, Singapura, dan India, gerak lincah para penari Sanggar TaTe KinD Art memecah keheningan. Ini bukan sekadar pertunjukan hiburan. Tarian yang mengisahkan falsafah hidup masyarakat Manggarai itu adalah andalan baru Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) untuk mempromosikan Labuan Bajo. Sebuah jurus untuk membuktikan bahwa destinasi di ujung barat Flores ini lebih dari sekadar gerbang menuju Taman Nasional Komodo.
Ketujuh tamu itu adalah para agen perjalanan—atau buyer dalam istilah industri—yang sengaja diterbangkan ke Labuan Bajo. Program bertajuk post-tour ini adalah kelanjutan dari pameran pariwisata Bali and Beyond Travel Fair (BBTF) 2025. Tujuannya tunggal: memberikan pengalaman langsung agar mereka yakin untuk “menjual” Labuan Bajo ke pasar premium.
“Tujuannya adalah untuk mereka melihat langsung, apa sih yang membuat Labuan Bajo itu spesial? Apa yang bisa mereka paketkan nantinya untuk kerja sama dengan mitra-mitra mereka?” kata General Manager The Golo Mori, Wahyuaji Munarwiyanto.

Menurut Wahyuaji, inisiatif ini dirancang untuk menggeser citra Labuan Bajo. Selama ini, magnet utamanya adalah kadal raksasa Komodo. Kini, ITDC ingin menyajikan atraksi lain yang tak kalah kuat: kekayaan budaya. Ia melihat ada ceruk pasar yang besar, terutama di kalangan wisatawan mancanegara yang haus akan pertunjukan dengan narasi dan legenda lokal.
Tarian kreasi menjadi fokus utama. “Ini yang nanti kita mau kembangkan menjadi salah satu attraction yang menarik. Turis itu senang lihat yang kayak gitu. Tariannya bukan hanya tarian saja, tapi ada ceritanya,” jelas Wahyuaji.
Responnya tampak menjanjikan. Antusiasme paling kuat, kata Wahyuaji, datang dari pasar India. Bali yang kian padat membuat para agen perjalanan dari Negeri Barata itu gencar mencari destinasi alternatif. Minat ini tecermin dari jumlah peserta yang membengkak. Dari target awal lima buyer, yang datang justru tujuh, dengan lima di antaranya berasal dari India.
“Mereka sih excited ya. Karena dengan Bali sudah ramai, mereka mencari destinasi baru yang bisa mereka jual dan perkenalkan,” ungkapnya.
Di balik panggung promosi ini, ada semangat kolaborasi yang coba dibangun. Wahyuaji menekankan bahwa ini bukan kerja tunggal ITDC. Upaya ini melibatkan seluruh ekosistem pariwisata: perhotelan, operator transportasi, restoran, hingga sanggar seni lokal seperti TaTe KinD Art. “Di sini, yang mau saya tekankan adalah semangat kolaborasi dan kerja sama untuk sama-sama memajukan Labuan Bajo,” ujarnya.
Kini, bola ada di tangan para agen perjalanan. Mereka diharapkan merancang paket-paket wisata baru yang kompetitif. Keberhasilan mereka tak hanya akan menambah angka kunjungan, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi lokal yang lebih luas.
Dari Lodok ke Panggung Kreasi
Pertunjukan yang memukau para agen perjalanan itu bukanlah tarian biasa. Ia adalah hasil riset dan interpretasi mendalam terhadap budaya Manggarai, digarap oleh Sanggar TaTe KinD Art di bawah arahan koreografer Angelina Ayuni Praise. Perempuan yang akrab disapa Yuni ini menyebutnya sebagai “tarian kreasi berpola tradisi.”
“Jadi Manggarainya itu tidak hilang,” kata Yuni saat dihubungi pada Minggu (15/6).
Inspirasinya digali dari elemen-elemen ikonik. Misalnya, formasi yang terinspirasi dari Lodok—sistem pembagian lahan sawah berbentuk jaring laba-laba yang melambangkan akar agraris masyarakat Manggarai. Ada pula gerakan yang diadaptasi dari permainan tradisional Rangkuk Alu, yang dulu menjadi sarana kaum muda mencari jodoh. Simbol keberanian dan kekuatan khas Manggarai juga ditenun ke dalam setiap gerak.
“Biar tidak lari jauh dari apa yang menjadi kebiasaan dan tradisi di Manggarai, tetapi saya garapnya dengan pola tari kreasi,” jelas Yuni.
Tantangan terbesarnya adalah memadatkan narasi kompleks itu ke dalam pertunjukan ringkas berdurasi 20 menit, lengkap dengan narator untuk memandu penonton. Kostumnya pun tak sembarangan, tetap menggunakan kain tenun asli Manggarai. Rencananya, pertunjukan ini akan menjadi pementasan reguler di Golo Mori, menyajikan secuil jiwa Manggarai bagi para pelancong dunia.
Merangkak Cepat di Panggung Labuan Bajo
Namanya Sanggar TaTe KinD Art. Dalam bahasa Manggarai, TaTe KinD berarti proses seorang anak belajar merangkak. Sebuah metafora untuk totalitas dalam berproses. Namun, gerak sanggar yang dibentuk pada 10 November 2022 ini jauh dari kata lambat. Mereka melesat cepat menjadi pemain kunci di panggung seni pertunjukan Nusa Tenggara Timur.
Berbasis di Cowang Dereng, Labuan Bajo, kolektif ini digawangi oleh generasi muda yang memegang filosofi lain dari namanya: akronim dari Tanah Mbate Kintal Dite (Warisan Leluhur). Visi mereka jelas: melestarikan budaya melalui inovasi dan kolaborasi.
Portofolio mereka membuktikan reputasinya. Nama TaTe KinD Art tercatat dalam perhelatan akbar sekelas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023, di mana mereka berkolaborasi dengan Eko Dance Company. Mereka juga terlibat dalam rangkaian acara G20 pada 2022. Wajah mereka akrab menyambut tamu-tamu penting, dari Presiden Timor Leste, Ibu Iriana Jokowi, hingga para menteri.
Tak hanya menari, TaTe KinD Art menjelma menjadi penyedia jasa produksi acara yang lengkap: dari master of ceremony, penyewaan kostum, penata rias, hingga tim penyambutan tamu secara adat. Klien mereka beragam, mulai dari kementerian, BUMN seperti Antam dan PTPN, hingga merek global seperti Hyundai. Bagi TaTe KinD Art, “merangkak” adalah sikap rendah hati untuk terus belajar. Tapi rekam jejak mereka adalah lompatan besar bagi ekosistem kreatif Labuan Bajo.
Penulis : Fons Abun
Editor : R. Nahal