INFOLABUANBAJO.ID — Kasus pengeroyokan di wilayah Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, berakhir dengan putusan yang mengejutkan publik. Pengadilan Negeri (PN) Singaraja memutuskan bahwa korban dan pelaku dalam peristiwa tersebut sama-sama harus menjalani hukuman penjara selama dua bulan dan 25 hari atau setara dengan 85 hari.
Vonis ini dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Made Hermayanti Muliartha, dengan hakim anggota Pulung Yustisia Dewi dan Rastra Dhika Irdiansyah, dalam sidang putusan pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Enam Pria Dihukum Sama Rata
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus pengeroyokan itu melibatkan enam orang pria, yang berasal dari dua kelompok berbeda. Mereka adalah:
Made Soma Suartana (28) dan Komang Susila Yasa alias Mang Sila (21), keduanya warga Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng.
Komang Agus Suriawan alias Komang Atat (40), Kadek Yobi Hendriana alias Yobi (26), Gede Eggy Prathama alias Eggy (19), dan Putu Dio Pratama alias Dio alias Bobot (21) — seluruhnya berasal dari Lingkungan Bakung, Kelurahan Sukasada.
Meskipun dari dua kelompok berbeda, keenamnya diadili oleh majelis hakim yang sama dan dijatuhi hukuman identik: penjara 2 bulan 25 hari.
Putusan ini tercatat dalam salinan resmi yang diterima pada Minggu, 26 Oktober 2025. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa seluruh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 170 Ayat (2) ke–1 KUHP tentang pengeroyokan.
“Menjatuhkan pidana penjara kepada para terdakwa masing-masing selama dua bulan dan 25 hari. Para terdakwa tetap ditahan,” demikian bunyi putusan tersebut.
Putusan Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Vonis ini tergolong lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Buleleng, yang sebelumnya meminta agar para terdakwa dijatuhi hukuman lebih berat.
Namun, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan hukuman keenam terdakwa.
Beberapa faktor yang memperingan antara lain:
Para terdakwa bersikap sopan selama persidangan.
Mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya.
Berjanji tidak mengulangi perbuatan serupa.
Menjadi tulang punggung keluarga.
Kedua pihak telah berdamai dan saling memaafkan di luar persidangan.
Meski demikian, majelis hakim menegaskan bahwa perbuatan pengeroyokan tetap merupakan pelanggaran hukum yang tidak dapat dibenarkan, sekalipun telah ada perdamaian.
“Faktor yang memberatkan adalah perbuatan para terdakwa tidak pantas dilakukan terhadap sesama manusia,” tegas majelis hakim dalam pertimbangannya.
Awal Mula Keributan: Salah Paham Antar Pemuda
Dari hasil pemeriksaan di persidangan, insiden tersebut berawal dari kesalahpahaman antara dua kelompok pemuda yang berbeda wilayah — Desa Sari Mekar dan Lingkungan Bakung.
Keduanya memiliki versi berbeda tentang penyebab perkelahian di Pertigaan Bakung (Patung Bima) pada dini hari Minggu, 29 September 2024, sekitar pukul 02.00 Wita.
Menurut versi kelompok Sari Mekar, mereka dihentikan oleh Komang Atat yang menantang untuk adu balap motor. Tantangan itu ditolak, namun situasi memanas.
Sementara versi kelompok Bakung menyebut bahwa pihak Suartana dan Mang Sila justru datang ke lokasi bersama Putu Diva Suadnyana alias Jering, lalu terjadi adu mulut dengan Atat hingga akhirnya perkelahian tak terhindarkan.
Bentrok itu berkembang menjadi dua lawan empat, di mana kedua pihak saling pukul dan menyebabkan luka di tubuh masing-masing.
Korban dan Pelaku Sama-sama Luka-Luka
Akibat perkelahian tersebut, Made Soma Suartana mengalami luka di wajah, kaki, dan tubuhnya, termasuk luka terbuka di kaki kanan serta memar di wajah.
Sementara Komang Atat juga mengalami luka di wajah, bahu, punggung, dan kedua kakinya.
Dengan kondisi demikian, polisi akhirnya menetapkan kedua pihak sebagai tersangka karena sama-sama terlibat dalam tindakan pengeroyokan.
Kasus ini kemudian bergulir ke meja hijau hingga keluar putusan yang unik: korban dan pelaku sama-sama dianggap bersalah dan dipenjara dengan durasi identik.
Perdamaian Tak Menghapus Pidana
Meski kedua pihak telah berdamai, hakim menilai perdamaian tersebut hanya menjadi faktor meringankan, bukan alasan penghapusan pidana.
“Perdamaian adalah sikap terpuji, tetapi perbuatan melanggar hukum tetap harus diberikan sanksi agar menjadi pelajaran bagi masyarakat,” ujar salah satu sumber di PN Singaraja.
Respons Warga: Antara Heran dan Lega
Kasus ini memancing beragam reaksi di media sosial dan kalangan warga Buleleng. Banyak yang menyebut vonis tersebut “adil tapi ironis”, sebab korban dan pelaku sama-sama mendekam di penjara.
“Ya aneh juga, masa korban juga dipenjara. Tapi kalau memang dua-duanya ikut berkelahi, ya mungkin itu adil,” ujar seorang warga Sukasada yang enggan disebut namanya.
Sementara itu, sebagian pihak menilai keputusan majelis hakim justru memberikan pelajaran penting bahwa siapa pun yang terlibat dalam aksi kekerasan, baik menyerang maupun membalas, tetap bisa dijerat hukum.
Kasus Ditutup, Perdamaian Diharapkan Berlanjut
Kini keenam pria tersebut resmi menjalani hukuman penjara masing-masing selama 85 hari. Setelah itu, mereka akan kembali ke masyarakat dengan harapan tidak mengulangi perbuatan serupa.
Kasus pengeroyokan yang berawal dari salah paham kecil ini akhirnya ditutup dengan pesan moral yang kuat: tidak ada pemenang dalam kekerasan, bahkan korban sekalipun bisa berakhir di balik jeruji jika ikut terlibat dalam perkelahian. ***
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Redaksi






