INFOLABUANBAJO.ID — Proyek pengerjaan Mawatu, Labuan Bajo diduga melakukan tindakan diskriminasi terhadap para buruh lokal. Mirisnya pekerja asal Jawa terus berdatangan.
Hal ini diungkap Hiro salah satu orang tua pekerja yang dipecat sepihak oleh Mandor PT Mitra Konstruksi kepada Info Labuan Bajo Sabtu 29 Juni 2024.
Ia menjelaskan, empat orang pekerja lokal termasuk anaknya dipecat sang Mandor proyek Mawatu PT Mitra Konstruksi bernama Ibu Enda.
“Anak saya ini sudah kerja dua bulan di sini. Dia selama kerja tidak pernah buat masalah atau alpa,” bebernya.
Hiro menjelaskan, pada saat awal masuk kerja, para pekerja ini dimintai identitas.
“Akhirnya memasukan KTP. Terus sekarang sudah 2 bulan bekerja. Pas kemarin (Jumat 28 Juni 2024) mereka dipecat. Dan tadi pagi (Sabtu 29 Juni 2024) saya menemui Mandornya (Ibu Enda). Saya tanya ke Mandornya apa alasan mereka dipecat, jawab Mandornya saya mendapat laporan dari orang dari lapangan,” terang Hiro.
“Saya bilang ke Mandornya, Ibu kalau ada bawahan yang lapor saya kira harus ada surat pemberitahuannya terlebih dahulu. Kasih peringatan dulu jangan langsung dipecat. Habis, Mandornya bilang kalau mau ini kamu harus ke kantor. Saya bilang lagi kemarin mereka masuk kerja lewat ibu, kalau lewat kantor saya mau hadap kantor,” tambahnya.
Pertemuan dirinya dengan sang Mandor proyek ini berlangsung alot. Kata Hiro, sang Mandor malah menantang untuk membawa kemana saja masalah ini.
“Malah Mandornya menantang, dia bilang tidak ada urusan dengan saya sudah. Mau dibawa kemana saja prosesnya. Itu yang saya jengkel tadi sama Mandornya,” ungkap dia.
Menurut dia, pemecatan terhadap warga Manggarai dinilai sangat diskriminatif.
“Saya bilang, ibu pecat orang lokal sini semena-mena, datang terus orang Jawa. Tadi malam ada datang lagi,” ungkapnya.
Korban lain yang mengalami pemecatan semena-mena oleh Mandor PT Mitra Konstruksi bernisial WP asal Kabupaten Manggarai mengaku ia dan teman-temannya bekerja di Mawatu mulai tanggal 4 Maret 2024 sebagai tukang kayu dan saat itu ada kesepakatan dengan mandor proyek bahwa untuk harian kerja orang (HOK) setiap itu senilai Rp. 125.000/ hari.
“Kami mulai kerja disini masuk tanggal 4 Maret 1023 sebagai tukang kayu dan kesepakatan dengan mandor waktu itu harian kami itu Rp. 125.000/ hari, akhirnya kami terima dan juga ada kesepakatan pembayaran uang harian kami itu dibayar dalam Dua (2) Minggu sekali,” ungkap WP saat ditemui di Labuan Bajo, Jumat (17/5/2024).
Ia juga menceritakan, setelah pembayaran pertama, Enda memanggil mereka untuk berunding pengurangan HOK senilai Rp. 5000/ hari dengan alasan dari Mandor saat itu bahwa dirinya tidak mendapatkan untung dari progres pekerjaan tersebut sehingga total HOK yang dihitung perhari itu senilai Rp. 120.000.
“Kami ikuti saja apa yang dia mau waktu karena hitungan kami waktu kami bisa lembur untuk menambah harian kami,” ungkapnya.
Kata dia, setelah itu Enda justru menyuruh mereka untuk mencari tenaga kerja baru dan pada saat tenaga kerja sudah datang Mandor meminta semua identitas mereka untuk dikirim ke kantor pusat. Lebih parahnya lagi, tenaga kerja yang dipanggil baru kerja Dua (2) hari dan ada juga yang Satu (1) hari kerja Mandor ini lansung memberhentikan semua tenag kerja lokal tanpa ada alasan jelas, sementara para pekerja dari pulau Jawa hampir setiap hari datang terus.
“Kami sangat kecewa sekali pak, bayangkan dia suru kami untuk panggil keluarga kami untuk kerja disini, dan waktu mereka datang itu mereka minta semua KTP sudah itu mereka suruh kami bekerja. Dan yang lebih parahnya lagi, ini tenaga kerja yang baru datang dari kampung baru Dua (2) hari kerja dan bahkan ada yang satu hari kerja lansung mereka minta kami untuk berhenti semua dengan alasanya tidak ada lahan pekerjaan. Kami sebagai pekerja lokal di PT Mitra konstruksi terasa di perbudakan sama mandor Endah. Sementara tenaga kerja dari Jawa ini hampir setiap hari ada yang masuk kerja disini,” ungkapnya dengan kesal.
Setelah mendapat perlakuan tidak adil dari Mandor proyek, WP bersama dengan teman-temannya terpaksa mencari kerja lain di Labuan Bajo. Selang Dua (2) Minggu Kemudian Mandor proyek (Enda) memanggil mereka lagi untuk bekerja di Mawatu saat itu mereka sepakat untuk dibayar 120.00/ hari.
Mereka pun ikut dengan tawaran sang Mandor Enda dengan perjanjian HOK Rp. 120.000/ hari dengan harapan mereka bisa kerja lembur untuk menambah penghasilan akhirnya mereka pun kembali kerja di proyek tersebut. Namun kesepakatan HOK senilai Rp. 120.000 tersebut hanya bukan belaka dari sang Mandor Enda.
Menurut WP tindakan yang dilakukan oleh Mandor itu sangat tidak manusiawi bahkan disaat ia ditekan oleh pihak kontraktor proyek ia memaksa pekerjaan lokal untuk bekerja.
“Yang saya kecewa itu dia yang minta kami kerja lagi disini dengan perjanjian HOK Rp. 120.000/ hari tetapi saat saya terima gaji pertama dia hanya kasih kami Rp. 110.000 perhari, saya mau protes tetapi bendaharanya dia justru ancam saya, kalau kamu telpon ibu Enda pasti kamu akan dipecat,” ungkapnya.
WP menjelaskan bekerja diproyek Mawatu tidak mengenal hari libur bahkan hari Minggu pun mereka masih kerja dengan bayaran HOK seperti hari biasa.
“Kami disini tidak mengenal hari libur, misalnya kalau ada tanggal merah bahkan hari Minggu pun kami masih kerja dengan bayaran seperti hari kerja biasanya,” ucapnya.
Para pekerja lokal selalu diancam bila melakukan kesalahan.
WP mengatakan aturan lain yang diterapkan oleh Enda itu harus makan di Kantin miliknya, apabila para pekerja makan diluar maka resiko yang ditanggung oleh para pekerja harus potong HOK bahkan diancam untuk dikeluarkan dari proyek tersebut.
“Kami disini diwajibkan untuk makan di dia punya kantin, kalau kita makan di kantin lain maka harian kita itu dia lansung potong bahkan kami juga diancam untuk dikeluarkan dari tempat kerja ini,” ucap WP
“Dulu, ada pekerja lokal dari Boleng yang kerja disini, dan setiap hari pekerja ini bawah makanan dari rumahnya, ibu Enda melarang dia untuk membawa bekal dari rumah, dan pekerja ini, tidak mau karena ketika dia menghitung HOK disini sangat kecil mana mau bayar makanan di kantinnya dia dan mana mau beli beras untuk anak istri atau keperluan lain, karena tidak terima dengan itu, Ibu Enda pun lansung memecat dia,” lanjutnya.
Tindakan tidak manusiawi itu pun membuat WP dan rekan-rekan kerja mulai marah dengan Mandor Enda, karena menurut mereka hasil keringat mereka seolah-olah untuk keperluan dari Mandor Enda.
Mereka pun meminta pihak Manajemen Mawatu dan juga kontraktor pelaksana untuk memecat Mandor Enda dari proyek tersebut.
“Kami minta pihak Mawatu dan juga kontraktor harus pecat ini Mandor Enda, dia ini sangat sadis, masa dia enak-enak tinggal di Manado kami disini yang kerja ditengah panas teriknya matahari, giliran gajian dia potong kami punya hasil keringat sendiri,” ungkapnya WP dengan nada geram.
Untuk diketahui, mandor Enda membuka usaha kantin di lokasi proyek. Sebuah sumber menyebut, bahwa patut diduga para pekerja ini dipecat lantaran tidak membeli di kantin sang Mandor.
“Ia dia itu kalau anak Manggarai yang makan di kantin sesama orang Manggarai. Dia (Mandor Enda) matanya itu lihatnya lain sekali. Seperti dia tidak senang begitu,” beber sumber media ini.
Sumber menyebut, perlakuan Mandor Enda memecat orang Manggarai dan terus mendatangkan pekerja asa Jawa agar kantinnya rame.
“Ia biar kantinnya rame to. Orang Jawa itu nanti akan makan di dia. Nah, kami yang orang Manggarai pasti sepi sudah karena tidak ada orang lokal yang kerja di sini,” ungkapnya.
Saat awak media ini mendatangi lokasi proyek untuk melakukan konfirmasi ke Mandor Proyek, satpam penjaga pintu masuk keluar proyek melarang wartawan masuk ke dalam.
Satpam bernama Ahmad asal Ende itu menyebut, ia diperintah oleh atasannya agar wartawan dilarang masuk.
“Saya diperintah atasan bapak,” ungkap Ahmad.
Sementara itu, Mandor Enda saat dikonfirmasi oleh media ini melalui pesan WhastApp tidak memberi jawaban.
Hingga artikel ini dimuat, beberpa kali telpon WhatsApp tidak diangkat. Begitu juga pesan WhatsApp yang dikirim media ini belum dijawab. (**)