Orang Miskin “Dilarang Makan”? (Catatan Kritis Soal “Getok Harga” Kuliner di Kampung Ujung)

Para pengambil kebijakan 'pasti' tahu dan bahkan merasakan secara langsung 'lonjakan harga barang' itu, tetapi ironisnya sampai detik ini belum ada intervensi atau tanggapan untuk mengontrol 'permainan harga' tersebut.

Orang Miskin "Dilarang Makan"? (Catatan Kritis Soal "Getok Harga" Kuliner di Kampung Ujung)
Sil Joni. (Foto: Dokpri Penulis)

Oleh: Sil Joni*

Warta tentang ‘melambungnya’ harga makanan (kuliner) di Kampung Ujung, bagi warga Labuan Bajo dan sekitarnya bukan sebuah hal yang mengejutkan. Jauh sebelum Labuan Bajo ditetapkan sebagai ‘destinasi pariwisata super prioritas’ berlevel super premium oleh pemerintah pusat (Pempus), tren kenaikan harga pelbagai jenis produk dan aset, tak terbendung.

Para pengambil kebijakan ‘pasti’ tahu dan bahkan merasakan secara langsung ‘lonjakan harga barang’ itu, tetapi ironisnya sampai detik ini belum ada intervensi atau tanggapan untuk mengontrol ‘permainan harga’ tersebut. Boleh jadi ‘status sebagai destinasi wisata favorit’, dijadikan alibi untuk menjustifikasi kenaikan harga di luar nalar itu.

Demi dan atas nama ‘wisata super premium’ maka, kita terima begitu saja pelbagai ‘implikasi negatif’ yang ditimbulkan, termasuk melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok dan aneka aset lainnya. Upaya penertiban terhadap ‘kekacauan harga’ itu, jika ada, belum membuahkan hasil. Semakin ke sini, harga barang semakin liar.

Sebetulnya, ‘getok harga makanan’ yang dilakukan oleh salah seorang ‘pebisnis kuliner’ di kampung ujung itu, hanya bagian kecil dari ‘gunung persoalan’ yang diakibatkan oleh keberadaan ‘wisata super premium’ itu. Terminologi super premium terlanjur dipersepsikan sebagai ‘wisata eksklusif nan elitis’. Wisata semacam itu hanya diperuntukkan bagi golongan yang ‘berduit’.

Baca Juga:  Labuan Bajo, Kota Pariwisata Super Prioritas di Indonesia

Area ‘wisata kuliner kampung ujung’, tak diragukan lagi, telah ‘terpapar virus super premium’ itu. Tempat itu ‘didesain’ begitu elitis. Hanya pebisnis berkantong tebal yang ‘bisa berjualan’ di spot itu. Pasalnya, harga kontrak terhadap ‘lapak penjualan’ terlampau mahal bagi yang modalnya agak tipis.

Karena itu, jika ada ‘yang terpaksa’ mengontrak salah satu lapak hanya dengan modal seadanya, maka sangat logis jika ‘trik menggetok harga’ dijadikan opsi untuk menutup ongkos pembayaran lapak tersebut. Tidak ada yang mau rugi dalam berbisnis.

Selain itu, jangan lupa bahwa sebagian besar ‘bahan baku’ untuk usaha kuliner di Kampung Ujung itu, berasal dari luar Mabar. Harga jual aneka produk itu di Labuan Bajo pasti sangat mahal. Tidak heran jika para ‘pedagang kuliner’ di sini ‘menjual menu favorit’ mereka dengan harga lebih tinggi dari ‘harga beli’. Hanya dengan itu, mereka bisa mendapat untung dan usaha (bisnis) kuliner itu tetap eksis.

Baca Juga:  Pilkada Mabar, Militansi Dukungan Untuk Mario-Richard Semakin Membeludak

Sampai di titik ini, rasanya kita tidak bisa dengan gegabah ‘mengutuk’ para pedagang makanan di obyek wisata kuliner itu yang ‘menggetok harga’ sesuka hati. Mereka mempunyai ‘pendasaran logis’, mengapa cara itu dipakai dalam meraup untung.

Factum ‘getok harga’ hanya sebagai ‘akibat’ dari sistem pengelolaan kepariwisataan yang cenderung elitis dan eksklusif. Untuk mengatasi persoalan itu, para penentu kebijakan, mesti ‘mencari dan mencabut akar masalahnya’.

Hemat saya, pemerintah mesti meneropong mengapa ‘kebanyakan bahan baku untuk kuliner’ itu, didatangkan dari luar. Sudah waktunya pemerintah mengotimalkan potensi sumber daya di Mabar untuk memproduksi bahan kebutuhan pokok seperti sayur, buah, dan daging. Para petani ‘difasilitiasi dan diberdayakan’ agar cakap dalam mengelola lahan dan memproduksi tanaman yang berkualitas.

Di samping itu, sewa lapak usaha kuliner di Kampung Ujung mesti ‘berpihak’ pada kelompok ekonomi ke bawah. Harga kontraknya jangan sampai ‘mencekik leher’ para pedagang. Tetapkan tarif yang wajar dan bisa dijangkau oleh pengusaha kecil dan menengah.

Selanjutnya, pemerintah perlu membentuk semacam ‘satuan tugas (satgas) untuk memantau secara rutin tren perkembangan harga makanan di tempat itu. Pastikan bahwa semua pedagang ‘patuh’ terhadap besaran tarif (harga) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam menjajakan barang dagangannya. Tidak ada lagi ‘oknum’ yang coba ‘menodai citra wisata’ kita, melalui penerapan spekulasi harga yang tidak normal.

Jika upaya ‘getok harga’ tak mentok, maka secara tidak langsung ‘wisata super premium’ mengeksklusi keberadaan ‘the poor’. Hak ‘kaum tak berpunya’ untuk mencicipi kuliner eksotis nan mewah di Kampung Ujung, harus ‘terkurung’. Dengan perkataan lain, melalui ‘getok harga’, kita melarang orang miskin untuk makan di sana.

Jangan sampai ‘kaum tak beruntung’ hanya memandang dari jauh ‘susu dan madu’ yang tersedia di Kampung Ujung. Kalau dapat, akses warga untuk merasakan ‘sensasi berwisata kuliner’ di sana, terbuka lebar. Caranya adalah tetapkan harga yang bersahabat dengan warga (lokal).

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.