INFOLABUANBAJO.ID — Di tengah gencarnya kampanye pemerintah untuk memberantas peredaran rokok ilegal, fakta di lapangan masih jauh dari ideal, terutama di wilayah-wilayah seperti Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur. Rokok tanpa cukai, rokok dengan pita cukai palsu, atau yang menggunakan pita cukai bekas, masih dengan mudah ditemukan di kios-kios pinggir jalan, warung sembako, bahkan toko grosir besar. Fenomena ini bukan sekadar soal barang ilegal yang beredar, tetapi menjadi cerminan lemahnya pengawasan, pengabaian regulasi, dan dugaan pembiaran oleh institusi yang seharusnya menjadi garda depan: Bea Cukai.
Mengapa rokok ilegal begitu mudah masuk dan bertahan di Manggarai Raya? Mengapa operasi penindakan terkesan tumpul? Dan lebih jauh lagi, ada apa dengan peran Bea Cukai dalam mengontrol lalu lintas barang kena cukai ini?
Rokok Ilegal: Murah, Mudah, dan Merajalela
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rokok ilegal merujuk pada produk tembakau yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan, dalam hal ini cukai. Ciri-cirinya beragam: tanpa pita cukai, pita cukai palsu, pita bekas, atau pita dengan tarif tak sesuai. Dampaknya? Negara kehilangan potensi pendapatan miliaran rupiah, dan masyarakat menjadi korban paparan produk yang tak terjamin kualitas dan keamanannya.
Di Manggarai Barat, Manggarai Tengah, dan Manggarai Timur — yang secara kultural dan geografis disebut Manggarai Raya — rokok ilegal dijual bebas, bahkan seolah menjadi pilihan utama karena harganya yang jauh lebih murah. Rokok tanpa cukai bisa dijual seharga Rp7.000-Rp10.000 per bungkus, dibandingkan produk legal yang kini bisa mencapai Rp20.000 atau lebih.
Faktor Pemicu: Kombinasi Ketidakseriusan dan Celah Pengawasan
1. Minimnya Patroli Bea Cukai
Wilayah Manggarai Raya berada jauh dari pusat-pusat Bea Cukai yang umumnya terletak di pelabuhan besar seperti Kupang, Maumere, atau Atambua. Akibatnya, pengawasan langsung menjadi sangat jarang. Celah ini dimanfaatkan dengan baik oleh para pemasok yang memasukkan rokok ilegal lewat jalur darat dari luar daerah, atau lewat pelabuhan kecil yang minim pengawasan.
2. Lemahnya Koordinasi Antarinstansi
Pemberantasan rokok ilegal membutuhkan kerja sama lintas sektor: dari kepolisian, pemerintah daerah, hingga dinas perdagangan dan kesehatan. Namun, di tingkat lokal, koordinasi ini tampak rapuh. Banyak kasus di mana operasi gabungan hanya menjadi agenda seremonial tahunan, bukan kerja sistemik yang berkelanjutan.
3. Ketiadaan Hukuman Tegas untuk Pedagang
Tak sedikit pedagang kecil yang bahkan tidak tahu bahwa barang yang mereka jual termasuk ilegal. Namun ironisnya, ketika penindakan dilakukan, para pedagang kecil yang menjadi sasaran, bukan pemasok utama. Penindakan tanpa edukasi dan tanpa menarget otak jaringan pemasok membuat persoalan ini seperti memotong rumput tanpa mencabut akarnya.
4. Permintaan Tinggi, Ekonomi Lemah
Masyarakat di Manggarai Raya secara ekonomi banyak berada pada kelompok menengah ke bawah. Saat harga rokok legal terus naik akibat kebijakan cukai, masyarakat beralih ke produk yang lebih murah. Tanpa alternatif yang layak (seperti edukasi tentang bahaya rokok atau bantuan usaha kecil), permintaan terhadap rokok ilegal tetap tinggi.
Ada Apa dengan Bea Cukai?
Kinerja Bea Cukai kini menjadi sorotan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengendalian barang kena cukai, Bea Cukai seharusnya menjadi tembok pertama yang mencegah masuknya rokok ilegal ke suatu wilayah. Namun di Manggarai Raya, tembok itu tampaknya penuh celah.
1. Sumber Daya Minim atau Pembiaran Terselubung?
Bea Cukai mungkin akan berdalih kekurangan personel dan logistik untuk menjangkau pelosok Manggarai Raya. Namun, ini bukan persoalan baru. Sudah bertahun-tahun diketahui bahwa wilayah-wilayah perbatasan dan kepulauan di NTT adalah titik rawan masuknya barang ilegal. Jika ini diketahui tapi tak ada langkah strategis yang berarti, maka ini bukan lagi soal kekurangan — tapi soal pembiaran.
2. Kurangnya Transparansi dan Laporan Berkala
Masyarakat jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan informasi rutin dari Bea Cukai tentang jumlah penindakan, asal-usul rokok ilegal, atau jalur distribusinya. Transparansi rendah ini memunculkan dugaan bahwa ada relasi tidak sehat antara oknum pengawas dan pelaku distribusi rokok ilegal.
3. Penindakan Parsial dan Tidak Menyentuh Pemilik Modal
Penulis : Tim Info Labuan Bajo
Editor : Redaksi
Halaman : 1 2 Selanjutnya






