HUKRIM  

Masalah Tanah Semakin Membara di Labuan Bajo, Asal-usul Ramang dan Syair Dipertanyakan

Dengan tegas, Edu menjelaskan bahwa sesungguhnya Haji Ramang Ishaka bukanlah keturunan asli Manggarai. Silsilah keturunan Haji Ramang Ishaka justeru membukan keran informasi yang mengejutkan bahwa ayah dari Haji Ramang Ishaka, Ishaka bukanlah anak dari Dalu Bintang selaku "Dalu" ulayat Nggorang.

Masalah Tanah Semakin Membara di Labuan Bajo, Asal-usul Ramang dan Syair Dipertanyakan
Gambar Ilustrasi

INFOLABUANBAJO.ID – Pengangkatan dan penyematan Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair sebagai fungsionaris adat ulayat Nggorang menuai penolakan warga ulayat Nggorang. Bahkan sejumlah Tokoh adat dan praktisi hukum ikut menolak penyematan jabatan fungsionaris adat kepada Ramang Ishaka dan Muhamad Syair.

Menariknya penolakan masyarakat ulayat Nggorang ini terhadap Ramang Ishaka dan Muhamad Syair disertai dengan mengobok-obok soal asal-usul munculnya jabatan fungsionaris adat.

Hal ini dilakukan setelah melihat kiprah Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair yang diduga menjadi pemicu konflik tanah di Labuan Bajo dan selalu luput dari jeratan hukum.

Masyarakat ulayat Nggorang menilai jabatan fungsionaris adat justeru membuat para pihak ini menjadi kebal hukum dan merasa bebas mutlak untuk menguasai tanah-tanah di Labuan Bajo atas nama Ahli Waria ulayat Nggorang.

Jabatan fungsionaris adat ini menjadikan satu keluarga ini secara terus menerus diagung-agungkan baik oleh Pemerintah Manggarai Barat, Pengadilan, dan aparat penegak hukum (APH) yang menempatkan mereka sebagai saksi kunci, ahli waris, dan pribadi yang punya hak mutlak dalam menguasai, membagi, hingga menata tanah di Wilayah Manggarai Barat dalam konteks Labuan Bajo.

Maraknya kasus tanah yang melibatkan para mafia tanah di Labuan Bajo justeru diduga dipicu oleh masih diakuinya dan dibiarkannya jabatan fungsionaris adat ulayat Nggorang yang menempatkan Haji Ramang Ishaka dan Syair dalam posis kunci pemangku jabatan Ahli Waris Dalu. Padahal “Dalu” itu jabatan pemerintahan namun bukanlah fungsionaris adat.

Berbicara kepada Info Labuan Bajo, pada 15 Juni 2024 lalu, Praktisi Hukum di Manggarai Barat, Edu Gunung misalnya justeru memberikan pertanyaan kritis kepada Haji Ramang Ishaka soal pemahamannya mengenai apa itu fungsionaris adat. Hal itu dikatakan Edu Gunung lantara peran Haji Ramang dalam setiap kasus tanah yang selalu mengakui dirinya sebagai fungsionaris adat ulayat Nggorang.

“Secara filosofi, Haji Ramang mengerti tidak yang dinamakan fungsionaris adat? Dia mengerti tidak secara filosofi? Yang kedua ungkapan ungkapan adat Manggarai, secara filosofia dia paham tidak, kita ambil contoh saja makna “kapu manuk lele tuak”? Dia paham tidak makna dari filosofis itu?,” ujar anak dari alm Dance Turuk saat ditemui di Labuan Bajo pada Sabtu, 15 Juni 2024 di kediamannya di Wae Kesambi.

Dengan tegas, Edu menjelaskan bahwa sesungguhnya Haji Ramang Ishaka bukanlah keturunan asli Manggarai. Silsilah keturunan Haji Ramang Ishaka justeru membukan keran informasi yang mengejutkan bahwa ayah dari Haji Ramang Ishaka, Ishaka bukanlah anak dari Dalu Bintang selaku “Dalu” ulayat Nggorang.

“Kalau orang tidak dilahirkan dari budaya itu, “ici tanah” itu, dia tidak memahami. Dan itu tidak menggetarkan hatinya ketika kalimat itu “kapu manuk lele tuak” diungkapkan. Haji Ramang inikan bukan turunan Manggarai asli mereka. Bahasa mereka setiap hari itu bahasa Bima dan bahasa Bajo. Kalaupun mereka berbahasa Manggarai ya karena mereka berbaur dengan orang Manggarai. Coba ditelusuri sejarahnya. Dan Bapak Ishaka itu orang tua mereka dari mana? asal usul mereka dari mana? Kenapa kok dia dianggap “Dalu” sebagai fungsionaris adat,” ujarnya.

Menariknya, Edu juga menjelaskan bahwa Hakumustafa bukanlan fungsionaris adat sebagaimana yang diakui oleh sebagian pihak. Menurutnya, Hakumustafa hanyalah “Kepala Hamente(kepala kampung) atau kepala Desa.

“Karena setahu saya, setahu saya sebenarnya Hakumustafa ini sebenarnya bukan fungsionaria adat yang berurusan masalah tanah. Dia itu dulu hanya sebagai kepala Hamente. Atau sekarang sama dengan kepala Kampung atau Kepala Desa,” ujarnya.

Kalau Bapak Hakumustafa dia memang itu dulu Tu,a Golo. Tu,a Golo di Nggorang. Dia dulu tinggal di Nggorang dia sebagai Tua Golo. Kemudian dia pindah ke Labuan Bajo bawa jabatan itu ke sini (Labuan Bajo). Jabatan itu bawa ke sini. Saya tidak tahu bagaimana dalam prakteknya sehingga Ishaka ini sebagai Dalu dan Haku Mustafa ini Dalu Wakil. Ini namanya hantam kromo kalau dalam bahasa Jawa. Artinya ala bisa karena biasa sehingga menjadi anggapan (sebagai Dalu),” ujarnya.

Baca Juga:  Konstatering Lahan di Menjerite Pasir Panjang Berjalan Mulus, Penggugat Beber Kronologis Sengketa

Edu juga menepis anggapan umum selama ini yang menyebut bahwa Ishakalah orang yang menyerahkan tanah kepada Pemda Manggarai pada jaman dulu.

“Saya punya dokumen penyerahan tanah 6 lingko tanah Pemda dulu kepada pemerintah Kabupaten Manggarai. Itu kalau tidak salah tahun 1961 yang menyerahkan tanah itu sebagai Tu’a Golo itu Hakumustafa bukan Ishaka. Ada dokumennya, coba buka dokumen penyerahan tanah Pemda. Yang menyerahkan itu waktu itu sebagai Tu’a Golo Nggorang Bapak (adalah) Hakumustafa. Ada Bapak Ishaka kalau saya tidak salah dia kepala Hamente,” ujarnya.

Apakah Ishaka ini anaknya Dalu Bintang?

“Setahu saya tidak ada hubungannya. Karena dia (Dalu Bintang) tidak ada anaknya. Kalau Hakumustafa ini keponakan. Setahu saya, katanya Ishaka ini dulu anak dari Nggorang Reo. Dulu nama kecilnya Kongkeh. Entah bagaimana sampai di sini dipelihara oleh Dalu Bintang ini dulu. Katanya begitu. Saya tidak tahu Haji Umar, Haji Ishaka bisa menceritakan sejarah itu,” ujarnya.

Pada kesempatan yang berbeda, Antonius Hantam pada Minggu, 16 Juni 2024 menjelaskan alasan kedaluan Nggorang tak miliki rumah adat karena belum adanya pemekaran atau ‘Bengkar Gendang’ dalam bahasa lokalnya.

“Sehingga perangkat adatnya pun tidak sama dengan kempo Boleng dan Mata Wae. Karena itu mereka tidak punya wewenang untuk membangun rumah adat, membuka lingko yang akhirnya nanti randang,” kata Antonius.

Sehingga lanjut dia untuk Nggorang, Mburak dan Kenari tidak ada “randang” karena tidak ada tua Golo dan yang ada saat ini adalah ketua paguyuban yang ditunjuk.

Baca Juga:  Di Depan Hakim, Sopir Niko Naput Sebut Haji Ramang dan Syair Ikut Turun ke Lokasi Lahan Kerangan

Dikisahkan Antonius bahwa dahulu ada orang Kempo yang dipercayakan sebagai tu’a yang berkedudukan di Nggorang yang kemudian Belanda pun muncul.

“Kehadiran Belanda inilah yang justru merubah tatanan struktur adat. Belanda kemudian mengangkat Ishaka ayah dari Ramang sebagai Dalu (Pemerintah saat itu) tetapi bukan tua adat. Hanya pada waktu itu tugas Dalu di ex officio kan”, ujarnya.

Dikatakannya bahwa kehadiran Pius Wilhemus Papu dan Daniel Daeng Nabit selaku pembantu Bupati saat itu telah membuat kesepakatan dan menunjuk Ishaka dan Haku Mustafa sebagai Ulayat Nggorang.

“Tetapi waktu itu yang ditunjuk urutan satu itu Haku Mustafa dan urutan dua itu Ishaka. Karena Haku itu sebenarnya yang mewarisi turunan fungsionaris ulayat Nggorang sedangkan Ishaka itu sebagai pejabat Kepala Desa Golo Bilas dan sebagainya. Ishaka itu orang Pota”, beber Anton Hantam.

“Lalu Ramang Ishaka ini sebagai apa, apakah sebagai fungsionaris adat?, tidak!. Syair, betul dia itu turunan tetapi tidak ada yang omong seperti itu di dalam adat Manggarai,” imbuh Antonius

“Yang ada itu siapa tetua itu lalu diwariskan kepada siapa, tetapi melalui prosedur adat. Tidak hanya dicari-cari garis keturunan”, kata dia melanjutkan;” Saya pernah dimintai penjelasan saat sidang kasasi perkara tanah ulayat Nggorang di Mahkamah Agung. Waktu itu saya tidak menjelaskan siapa Ramang dan Syair, tinggal mereka yang menilai diri mereka sendiri. Saya hanya bilang begini, satu wilayah persekutuan adat itu harus punya gendang, lingko dan masyarakat. Nah, kalau begitu bagaimana dengan Nggorang ini yang tidak punya gendang, lingko dan tua Golo. Bisa-bisa saja fungsionaris adat dianggap menjual tanah ulayat,” bebernya.